
Food Security and Vulnerability Atlas-FSVA
- DKPP_SY
- July 23, 2022
- 5:13 am
- No Comments
Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 114 dan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi Pasal 75 mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi pasokan dan harga pangan serta sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerawanan pangan dan gizi.
Informasi tentang ketahanan dan kerentanan pangan penting untuk memberikan informasi kepada para pembuat keputusan dalam pembuatan program dan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun tingkat lokal, untuk lebih memprioritaskan intervensi dan program berdasarkan kebutuhan dan potensi dampak kerawanan pangan yang tinggi. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk mengelola krisis pangan dalam rangka upaya perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan gizi baik jangka pendek, menengah maupun panjang.
Dalam rangka menyediakan informasi ketahanan pangan yang yang akurat dan komprehensif, disusunlah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan/Food Security and Vulnerability Atlas-FSVA sebagai instrumen untuk monitoring ketahanan pangan wilayah. Di tingkat nasional FSVA disusun sejak tahun 2002 bekerja sama dengan World Food Programme (WFP). Kerjasama tersebut telah menghasilkan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas – FIA) pada tahun 2005. Pada tahun 2009, 2015, 2018 disusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA).
Sebagai tindak lanjut penyusunan FSVA Nasional disusun pula FSVA Provinsi dengan analisis sampai tingkat kecamatan dan FSVA Kabupaten dengan analisis sampai tingkat desa. Dengan demikian, permasalahan pangan dapat dideteksi secara cepat sampai level yang paling bawah. FSVA kabupaten telah disusun sejak tahun 2012 dan dimutakhirkan pada tahun 2016. Untuk mengakomodir perkembangan situasi ketahanan pangan dan pemekaran wilayah desa, maka dilakukan pemutakhiran FSVA Kabupaten pada tahun 2019
Metode Analisis
- Analisis Indikator Individu
Analisis indikator individu dilakukan dengan mengelompokkan indikator individu kedalam beberapa kelas berdasarkan metode sebaran empiris. Sementara itu data kategorik mengikuti standar pengelompokkan yang sudah ditetapkan oleh BPS.
- Analisis Komposit
Metodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan menggunakan metode pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan relatif indikator terhadap masing-masing aspek ketahanan pangan. Metode pembobotan dalam penyusunan FSVA mengacu pada metode yang dikembangkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan 2017) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam penyusunan Gobal Hunger Index (IFPRI 2017). Goodridge (2007) menyatakan jika variabel yang digunakan dalam perhitungan indeks berbeda, maka perlu dilakukan secara tertimbang (pembobotan) untuk membentuk indeks agregat yang disesuaikan dengan tujuannya.
Langkah-langkah perhitungan analisis komposit adalah sebagai berikut:
- Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale (0 – 100)
- Menghitung skor komposit kabupaten/kota dengan cara menjumlahkan hasil perkalian antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi dengan bobot indikator, dengan rumus:
Dimana:
Yj : Skor komposit kabupaten/kota ke-j
ai : Bobot masing-masing indikator
Xij : Nilai standarisasi masing-masing indikator pada kabupaten/kota ke-j
Besaran bobot masing-masing indikator dibagi sama besar untuk setiap aspek ketahanan pangan, karena setiap aspek memiliki peran yang sama besar terhadap penentuan ketahanan pangan wilayah. Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau pentingnya indikator tersebut dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu wilayah.
- Mengelompokan desa/kelurahan ke dalam 6 kelompok prioritas berdasarkan cut off point Skor komposit yang dihasilkan pada masing-masing wilayah dikelompokkan ke dalam 6 kelompok berdasarkan cut off point komposit. Cut off point komposit merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil standarisasi z-score dan distance to scale (0-100).
Dimana:
Kj : cut off point komposit ke-J
ai : Bobot indikator ke-i
Cij : Nilai standarisasi cut off point indikator ke-I kelompok ke-j
Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah desa/kelurahan yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada desa/kelurahan dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6 merupakan desa/kelurahan yang memiliki ketahanan pangan paling baik. Penting untuk menegaskan kembali bahwa sebuah desa/kelurahan yang diidentifikasikan sebagai relatif lebih tahan pangan (kelompok Prioritas 4-6), tidak berarti semua kpenduduk di dalamnya juga tahan pangan. Demikian juga, tidak semua penduduk di desa/kelurahan Prioritas 1-3 tergolong rentan pangan.
- Pemetaan
Hasil analisis indikator individu dan komposit kemuadian divisualisasikan dalam bentuk peta. Peta-peta yang dihasilkan menggunakan pola warna seragam dalam gradasi warna merah dan hijau. Gradasi merah menunjukkan variasi tingkat kerentanan pangan tinggi dan gradasi hijau menggambarkan variasi kerentanan pangan rendah. Untuk kedua kelompok warna tersebut, warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari ketahanan atau kerentanan pangan.
Kondisi Ketahanan Pangan
Peta komposit menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu wilayah (kecamatan) yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Berdasarkan hasil pembobotan, desa-desa dikelompokkan ke dalam 6 prioritas. Prioritas 1 merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan yang paling tinggi, sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas yang relatif lebih tahan pangan. Dengan kata lain, wilayah (desa) prioritas 1 memiliki tingkat resiko kerentanan terhadap kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan wilayah (desa) lainnya sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian, wilayah (desa) yang berada pada prioritas 1 tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan, juga sebaliknya wilayah (desa) pada prioritas 6 tidak berarti semua penduduknya tahan pangan.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dari 100 desa yang ada di Kabupaten Seruyan maka didapatkan 6 desa (Prioritas 1), 19 desa (Prioritas 2), 20 desa (Prioritas 3), 14 desa (Prioritas 4), 25 desa (Prioritas 5) dan 16 desa (Prioritas 6).
Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 1 terdapat di wilayah Kecamatan Seruyan Hilir (1 desa), Kecamatan Danau Sembuluh (2 desa), Kecamatan Hanau (1 desa), dan Kecamatan Seruyan Hulu (2 desa) (Gambar 5.1).
Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 2 terdapat di wilayah Kecamatan Seruyan Hilir (1 desa), Kecamatan Seruyan Hilir Timur (2 desa), Kecamatan Danau Sembuluh (2 desa), Kecamatan Hanau (2 desa), Kecamatan Seruyan Tengah (4 desa), Kecamatan Seruyan Hulu (7 desa) dan Kecamatan Suling Tambun (1 desa) (Gambar 5.2).
Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 3 terdapat di wilayah Kecamatan Seruyan Hilir (2 desa), Kecamatan Seruyan Hilir Timur (1 desa), Kecamatan Danau Sembuluh (1 desa), Kecamatan Hanau (1 desa), Kecamatan Danau Seluluk (1 desa), Kecamatan Seruyan Tengah (2 desa), Kecamatan Seruyan Hulu (5 desa) dan Kecamatan Suling Tambun (7 desa) (Gambar 5.3).
Gambar 5.3 Sebaran Jumlah Desa Priroitas 3 Per Kecamatan
Faktor Penyebab Kerentanan Pangan
- Desa yang rentan terhadap kerawanan pangan dan termasuk Prioritas 1 secara umum disebabkan oleh: (1) Penduduk Tidak Sejahtera/Kemiskinan, (2) Akses Air Bersih, dan (3) Tenaga Kesehatan.
- Desa yang rentan terhadap kerawanan pangan dan termasuk Prioritas 2 secara umum disebabkan oleh: (1) Sarana dan Prasarana Ekonomi/Pangan, (2) Penduduk Tidak Sejahtera/Kemiskinan, dan (3) Akses Air Bersih.
- Desa yang rentan terhadap kerawanan pangan dan termasuk Prioritas 3 secara umum disebabkan oleh: (1) Akses Jalan Transportasi/Akses Pangan, (2) Sarana dan Prasarana Ekonomi/Pangan, dan (3) Akses Air Bersih.
Selain faktor penyebab desa yang rentan secara umum tersebut juga terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kerawanan pangan yang termasuk pada Prioritas 1, Prioritas 2 dan Prioritas 3 yaitu lahan sawah yang merupakan sebagai salah satu indikator dalam aspek ketersediaan pangan karena lahan sawah memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat ketersediaan pangan dengan mempengaruhi kapasitas produksi pangan.
Rekomendasi Kebijakan
Penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan pada suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya, dengan demikian cara penyelesaiannya juga berbeda. Peta ini membantu memahami keadaan diantara wilayah (desa), dan dengan demikian akan membantu para pengambil kebijakan untuk dapat menentukan langkah-langkah yang tepat dalam menangani isu-isu ketahanan pangan yang relevan di wilayahnya.
Fokus lokasi penanganan kerentanan pangan di wilayah desa diprioritaskan pada:
- Desa-desa prioritas 1-3 yang tersebar di Kecamatan Seruyan Hilir, Seruyan Hilir Timur, Danau Sembuluh, Hanau, Seruyan Tengah, Seruyan Hulu dan Suling Tambun
- Desa-desa yang lokasinya jauh dari ibu kota kabupaten atau di wilayah yang berbatasan dengan kabupaten lain
- Desa-desa yang menghadapi kendala akses fisik terhadap sumber pangan.
- Desa-desa pemekaran yang fasilitas, infrastruktur dan kapasitas SDMnya masih terbatas.
Upaya-upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan ditekankan pada penyebab utama kerentanan pangan di desa seperti digambarkan pada diagram di bawah ini.
Program-program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan wilayah kabupaten diarahkan pada kegiatan:
- Peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi dengan mengoptimalkan sumberdaya pangan lokal.
- Pembukaan lahan pertanian pertanian baru
- Penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, padat karya, redistribusi lahan; pembangunan infrastruktur dasar (jalan, air bersih), dan pemberian bantuan sosial; serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya untuk menggerakan ekonomi wilayah.
- Peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih; sosialisasi dan penyuluhan.
- Penyediaan tenaga kesehatan.